I’M YOUR FRIEND – Miras sejenis Alkohol adalah mesing pembunuh bagi rakyat di tanah Papua dalam kehidupan sehari – hari juga mempunyai manfaat baik dan buruk. Manfaat baik dari minuman keras sejenis Alkohol bisah dijadikan obat antiseptic atau obat penenang untuk membunuh kuman, bakteri dan lain – lain sedangkan efek negatif adalah mengkosumsi berkelebihan Alkohol sehingga bias menghilangkan kesadaran dan merusak organ dalam tubuh kita.
Minuman keras (Miras) identik dengan minuman beralkohol yang merupakan zat berbahaya dalam tubuh bila dikonsumsi minuman beralkohol adalah minuman yang mengandun zat etanol, zat psikoaktif yang bila dikonsumsi akan mengakibatkan kehilangan kesadaran. Minuman beralkohol merupakan minuman keras yang termasuk kategori jenis zat narkotika yang mengandung alkohol.
Ada beberapa kaka – kaka dan teman – teman dalam pembicaraan hidup tanpa minum alkohol rasanya kurang sehat. Ucapan itu sepertinya sudah membenarkan alkohol sebagai pecandu. Yang lain juga mengatakan bahwa dengan minuman alkohol (Mabuk) membuat mereka percaya diri, berani tampil di depan banyak orang atau muka umum untuk mengekspresikan (memberanikan) diri tentang bakatnya yang terpedam. Ataupun berani membuat kegaduhan, bahkan ada yang berani untuk melakukan ataupun terlibat dalam kasus pemerkosaan perkelainan dan pembunuhan.
Dampak buruk bagi kesehatan yang selalu pesta minuman keras sejenis alkohol yang mengandung zat narkotika etanol tentu memiliki dampak yang buruk bagi kesehatan bila dikonsumsi secara rutin, maka cairan ini akan diserap dalam aliran darah. Hal ini tentu saja mempengarui sistem saraf pusat (otak dan sum – sum tulang belakang) yamg memgontrol hampir semua fungsi tubuh. Dampak buruk yang ditimbulkan dikonsumsi, usia, berat badan, serta makanan yamg ada dalam lambung ketika meminum – minuman leras.
Pengaru sosial ganguan mental, anti sosial dan dikucilkan oleh lingkungan sosial, merepotkan dan memjadi beban keluarga, pendidikan memjadi tergamggu dan masa depan tidak cerah, berkeinginan melakukan hubungan seks dengan sembarangan akibatnya kena penyakit menular kelamin (IMS) teasuk HIV/AIDS, dalam rumah tangga hampir setiap hari bertengkar, hidup dengan keluarga tidak bahagia dan memdapat kecelakaan akhirnya menderita sampai meninggal dunia.
Kebutuhan ekonomi dalam rumah tangga meningkat, menghabiskan uang hanya untuk beli minuman keras/beralkohol, mengambil uang orang lain, kehidupan dalam rumah tangga berantakan, kebutuhan pendidikan terus meningkat dan meminyam uang kesana dan kesini tujuan untuk konsumsi miras.
sebaiknya anak mudah papua yang selalu pesta miras ini tidak ada untungnya dan manfaatnya sama sekali yang ada hanya sakit hati karena itu kita hidup sehat, dan kuat ini kesempatan yang baik untuk jadi berkat buat banyak orang.
Jika anak mudah Papua semua meninggal bodo – bodo karena miras dan narkoba nanti pulau Papua dan kekayaan alam Papua yang sangat luar biasa kaya raya ini siapa kah yang akan miliki dan menikmati.
Dari pada orang lain datang memiliki dan menikmati masih ada waktu dan kesempatan ini untuk meninggalkan miras dan narkoba lalu berbalik kepada Tuhan pasti hidupnya akan beruba total.
Harapan saya pemerintah daerah, gereja dan organisasi kemasyarakatan saatnya harus bersatu hati lalu selamatkan generasih Papua yang tersisa dari yang tersisa ini.
Cacatan pendek ini semoga memberikan pemcerahan, kesadaran, mengingatkan dan memotivasi untuk hidup takut akan Tuhan bagi orang yang selalu pesta minuman keras (Miras).
Selamat membaca bagi sahabat – sahabatku yang diberkati Tuhan.
I’M YOUR FRIEND – Injil bukan khotbah. Injil bukan kata-kata. Injil bukan teori yang ada di mimbar. Injil bukan ada di podium KKR. Injil bukan bermeditasi. Injil itu tidak berada di gedung-gedung megah dan mewah. Injil tidak hadir dalam kursi-kursi ber AC. Injil itu nyata. Injil itu hadir di tengah realitas hidup umat manusia yang tertindas, teraniaya, menangis dan terpinggirkan.
Artinya Yesus hadir dalam kandungan bunda Maria yang nyata. Yesus lahir dalam Kandang Betlehem yang nyata. Yesus mati di kayu salib adalah nyata. Yesus dikuburkan dan bangkit adalah peristiwa nyata dalam realitas hidup manusia.
“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang miskin, bebaskan tawanan dan membebaskan orang-orang tertindas” (Lukas 4:18-19).
Injil sudah 163 Tahun 5 Februari 1855-5 Februari 2018 hadir dan berada di West Papua. Injil sudah 163 Tahun itu masih mengurung diri di mimbar-mimbar dan tidak hadir dalam dalam dunia realitas.
Di depan mata Injil itu manusia dibantai seperti hewan dan binatang atas nama keamanan nasional dan kepentingan NKRI. Umat Tuhan berjatuhan di tangan para serdadu dan polisi Indinesia yang menduduki dan menjajah bangsa West Papua.
Injil adalah kekuatan Allah dan menyatakan kebenaran Allah yang membebaskan umat dari kuasa Iblis, dosa dan penindasan dan penjajahan.
Umat Tuhan di West Papua sudah dibebaskan dan sudah dimerdekakan dari kuasa Iblis dan dosa, tapi umat Tuhan yang sama masih dibelenggu dan diduduki oleh kuasa penjajah & kolonial Indonesia yang membawa penderitaan dan malapetaka panjang.
Selamat Merayakan HUT Injil 163 dan Selamat berdansa-dansa, menari di atas tetesan darah, cucuran air mata, tulang belulang dan penderitan umat Tuhan.
Semoga ada pengampunan dan berkat dari Tuhan atau sebaliknya.
Refleksi iman dari Gembala Dr. Socratez S. Yoman, MA, Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
I’M YOUR FRIEND – The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World menyatakan bahwa sulit menemukan biografi intelektual Syari’ati yang otoritatif. Banyak sisi kehidupan Syari’ati yang tetap tersembunyi. Sejak ia wafat, setiap tahun memang banyak karyanya yang diterbitkan di Iran untuk mengenangnya, namun datanya tidak lengkap, tersebar, dan bercorak hagiografis, sehingga agak sulit dibedakan antara kebenaran dan legenda.
Ali Syari’ati lahir 23 November 1933, di desa Maziman, pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar, Propinsi Khorasan, Iran. Desanya berada di tepi gurun pasir Dasht I Kavir, di sebelah Timur Laut Iran. Dia lahir dari keluarga ulama. Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad, kota tempat pemakaman Imam Ali Al-Ridha (w 818), Imam ke delapan dari kepercayaan Islam Syi’ah.
Kehidupan Syari’ati berakar di pedesaan. Di sanalah seperti ditulisnya dalam otobiografinya pandangan dunia Syari’ati pertama kali dibentuk. Dia begitu bangga akan leluhurnya, yang merupakan ulama-ulama terkemuka di masanya dan mereka memilih menyepi di gurun Kavir.
Guru pertama Syari’ati adalah Taqi Syari’ati, ayahnya sendiri, yang memutuskan untuk mengajar di kota Mashyad, dan tidak kembali ke desanya seperti tradisi leluhurnya. Sang ayah adalah ulama yang berbeda dari ulama tradisional. Sang ayah ini mempunyai perpustakaan lengkap dan besar yang selalu di kenang Syari’ati, yang secara metaforis dilukiskan sebagai mata air yang terus menyinari pikiran dan jiwanya. Di masa kecilnya ini, Syari’ati gemar membaca di perpustakaan ayahnya yang besar. Bahan bacaannya antara lain Les Miserables (Victor Hugo), buku tentang vitamin dan sejarah sinema terjemahan Hasan Safari, dan Great Philosophies terjemahan Ahmad Aram Syari’ati kecil juga mulai menyukai filsafat dan mistisme sejak tahun-tahun pertamanya disekolah menengah.
Kombinasi sosok intelektual dan aktivis yang terjun langsung ke lapangan membela ketidakadilan ini sedikit membentuk semangat intelektual yang juga aktivis politik revolusioner. Dan dia pula, Syari’ati menyerap pandagan tentang konstruksi sosiologis Marx, khususnya analisa tentang kelas social dan truisme (itsar). Syari’ati mengaku lebih banyak dipengaruhi Massignon, George Gurvich, Jean-Paul Sartre, dan Franz Fanon. Ketika berada di Perancis, dia sadar bahwa pemikiran Barat bisa mencerahkan sekaligus memperbudak pemikiran pelajar Iran.
Modernisasi dari atas dan sentralisasi kekuasaan yang dilakukan dengan tangan besi; penerapan cara-cara militer yang ‘mengharuskan represi brutal terhadap mereka yang menentang, menjadi ciri utama rezim kekuasaan Reza Syah. Modernisasi dan Industrialisasi yang dijalankan pada dasarnya berkiblat pada Negara-negara di Eropa Barat.
Dia melihat adanya proses pembaratan total yang membentuk Eropanoid. Dari sini muncul pemikirannya yang memetakan intelektual menjadi Intelektual Islam yang meniru, dan ‘intelektual sejati’ yang mengikuti tradisi para Nabi dan menyadarkan umatnya sekaligus punya tanggung jawab dan misi social. Syari’ati juga berusaha memecahkan masalah yang dihadapi Kaum Muslim berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Pada tanggal 18 Juni, Pouran, istri Syari’ati, beserta tiga putrinya hendak menyusul ke London. Tetapi, kali ini pihak berwenang menolak mengizinkan Pouran dan Mona, anaknya yang berusia 6 tahun, untuk meninggalkan Iran. Tetapi Soosan dan Sara, dua anak lainnya, diperbolehkan. Begitu keduanya tiba di Heathrow, Syari’ati menjemputnya dan membawa mereka ke sebuah rumah yang telah disewa di daerah Southampton, Inggris.
Tetapi keesokan paginya, 19 Juni 1977, Syari’ati ditemukan tewas di Southampton, Inggris. Pemerintah Iaran menyatakan Syari’ati tewas akibat penyakit jantung, tetapi banyak yang percaya bahwa dia dibunuh oleh polisi rahasia Iran. Kematiannya menjadi mitos “Islam Militan” Popularitasnya memuncak selama berlangsungnya revolusi Iran, Februari 1979. Saat itu, Fotonya mendominasi jalan-jalan di Teheran berdampingan dengan Ayatullah Khomeini.
Islam Agama Pembebasan
Perempuan Muslim Indonesia Mendukung Kemerdekaan Bangsa Papua
Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari’ati berbeda dengan pemahaman maintreem saat itu. Islam yang dipahami banyak orang di masa Syari’ati adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual dan fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas (mustad’afîn).
Islam yang demikian itu dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak penguasa yang berbuat sewenang-wenang dan mengumbar ketidakadilan, karena ia bisa berlindung dibalik dogma-dogma yang telah dibuat sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya.
Syari’ati berpendapat bahwa Islam lebih dinamis dari pada agama lainnya. Terminologi Islam memperlihatkan tujuan yang progresif. Di Barat, kata “politik” berasal dari bahasa Yunani “polis” (kota), sebagai suatu unit administrasi yang statis, tetapi padanan kata Islamnya adalah “siyasah”, yang secara harfiyah berarti “menjinakkan seokor kuda liar,”, suatu proses yang mengandung makna perjuangan yang kuat untuk memunculkan kesempurnaan yang inheren.
Islam, dalam pandangan Syari’ati bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hanya sekadar hubungan antara hamba dengan Sang Khaliq (Hablu min Allah), tetapi lebih dari itu, Islam adalah sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan:
“Adalah perlu menjelaskan tentang apa yang kita maksud dengan Islam. Dengannya kita maksudkan Abu Zar; bukan Islamnya Khalîfah . Islam keadilan dan kepemimpinan yang pantas; bukan Islamnya penguasa, aristokrasi dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan (progress) dan kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan dan pasivitas. Islam kaum mujâhid; bukan Islamnya kaum ulama. Islam kebajikan dan tanggungjawab pribadi dan protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi (taqiyeh) keagamaan, wasilah ulama dan campur tangan Tuhan. Islam perjuangan untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah; bukan Islam yang menyerah, dogmatis, dan imitasi tidak kritis (taqlîd) kepada ulama”.
Selanjutnya, gambaran Islam pembebasan ditegaskan kembali oleh Syari’ati:
“Adalah tidak cukup dengan menyatakan kita harus kembali kepada Islam. Kita harus menspesifikasi Islam mana yang kita maksudkan: Islam Abu Zar atau Islam Marwan (bin. Affan), sang penguasa. Keduanya disebut Islam, walaupun sebenarnya terdapat perbedaan besar diantara keduanya. Satunya adalah Islam ke-khalîfah-an, istana dan penguasa. Sedangkan lainnya adalah Islam rakyat, mereka yang dieksploitasi dan miskin. Lebih lanjut, tidak cukup syah dengan sekadar berkata, bahwa orang harus mempunyai kepedulian (concern) kepada kaum miskin dan tertindas. Khalîfah yang korup juga berkata demikian. Islam yang benar lebih dari sekedar kepedulian. Islam yang benar memerintahkan kaum beriman berjuang untuk keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan” .
Ali Syari’ati menyebut Islam sebagai agama pembebasan. Islam, menurutnya, bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hubungan individual dengan Sang Pencipta, melainkan lebih merupakan ideologi emansipasi dan pembebasan. Syari’ati juga mengatakan masyarakat Islam sejati tak mengenal kelas. Islam menjadi sarana bagi orang-orang yang tercerabut haknya, yang tersisa, lapar, tertindas, dan terdiskriminasi, untuk membebaskan diri mereka dari ketertindasan itu.
Syariati mendasarkan Islamnya pada kerangka ideologis. Dia memahami Islam sebagai kekuatan revolusioner untuk melawan segala bentuk tirani, penindasan, dan ketidakadilan menuju persamaan tanpa kelas. Syari’ati bahkan mencetuskan formula baru: ”Saya memberontak maka saya ada.”.
Islam pembebasan adalah Islam yang diwariskan oleh Imam Husein; kesyahidannya di Karbala menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang tertindas untuk memelihara Islam yang otentik itu. Sehingga, Islam yang demikian adalah Islam Syi’ah awal, yakni Islam Syi’ah revolusioner yang dipersonifikasikan Abu Zar al-Ghifari dengan kepapaannya, dan Imam Husein dengan kesyahidannya. Keduanya merupakan simbol perjuangan abadi ketertindasan melawan penguasa yang zalim. Islam Syi’ah revolusioner ini kemudian mengalami “penjinakan” di tangan kelas atas – penguasa politik dan ulama yang memberikan legitimasi atas “Islam” versi penguasa. Ulama, tuduh Syari’ati dengan menggunakan jargon Marxis, telah menyunat Islam dan melembagakannya sebagai “pemenang” (pacifier) bagi massa tertindas, sebagai dogma kaku dan teks skriptural yang mati. Ulama bergerak seolah-olah di dalam kevakuman, terpisah dari realitas sosial.
Menurut pengamatan Syari’ati, selama 7 abad sampai masa Dinasti Safavi, Syi’isme (Alavi) merupakan gerakan revolusioner dalam sejarah, yang menentang seluruh rezim otokratik yang mempunyai kesadaran kelas seperti Dinasti Ummayah, Abbasiyah, Ghaznawiyah, Saljuk, Mongol, dan lain-lain. Dengan legitimasi ulama rezim-rezim ini menciptakan Islam Sunni versi mereka sendiri. Pada pihak lain, Islam Syi’ah Merah, seperti sebuah kelompok revolusioner, berjuang untuk membebaskan kaum yang tertindas dan pencari keadilan.Syari’ati melihat rezim dan lembaga keulamaan, yang bisa jadi terkadang ditunggangi pihak luar, sebagai manipulator masa lampau Iran dan arsitek yang menjadikan tradisi menjadi penjara.
Rezim Syah Iran tidak membangkitkan agama, tetapi mempertahankan kerajaan yang mandek, sementara para ulama mempertahankan kemandekan Islam. Menurut Syari’ati, apa yang terjadi di Iran adalah, bahwa di satu sisi, para ulama yang menjadi pemimpin agama selama dua abad terakhir telah mentransformasikannya menjadi bentuk agama yang kian mandek, sementara disisi lain orang-orang yang tercerahkan yang memahami kekinian dan kebutuhan generasi dan zaman, tidak memahami agama. Akhirnya, kata Syari’ati, “Islam sejati tetap tak diketahui dan tersembunyi dalam relung-relung sejarah”.
Bagi Syari’ati, Islam sejati bersifat revolusioner, dan Syi’ah sejati adalah jenis khusus Islam revolusioner. Tetapi entah mengapa dalam perjalanan waktu kemudian Islam telah berubah menjadi seperangkat doa-doa dan ritual yang tak bermakna sama sekali dalam kehidupan. Islam hanya sebatas agama yang mengurus bagaimana orang mati, tetapi tidak peduli bagaimana orang bisa survive dalam kehidupan di tengah gelombang diskriminasi, eksploitasi, dan aneka penindasan dari para penguasa zalim. Agama model seperti ini yang sangat disukai para penguasa untuk menjaga kekuasaannya tetap aman, tanpa ada gangguan dari orang-orang yang ingin mengamalkan Islam sejati.
Gagasan Syari’ati tentang Islam revoluioner atau Islam pembebasan sejalan dengan gagasan tentang teologi pembebasan (theology of liberation) yang banyak diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika Latin maupun Asia. Ide dasar pemikiran antara Syari’ati dengan para pengusung teologi pembebasan hampir sama, yakni ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi keagamaan (ulama, gereja) yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan, dan berpaling dari kenyataan ril umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu. Mereka sama-sama memberontak dan tidak puas dengan seperangkat doktrin yang telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk melindungi kepentingan kelas atas dan menindas kelas bawah. Islam revolusioner dan teologi pembebasan sama-sama berupaya untuk mengakhiri dominasi lembaga resmi agama dan mengembalikan hak menafsirkan agama itu kepada rakyat, sehingga doktrin-doktrin yang terbentuk adalah ajaran agama sejati yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praksis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem sosial keagaman, seperti para elit keagamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis keagamaan.
Teologi Pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus diakui, dengan menyertakan di dalamnya suatu doktrin keagamaan yang benar-benar masuk akal, Teologi Pembebasan telah memberikan sumbangsih yang amat besar terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal itu telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagaman yang mapan. Beberapa diantara doktrin itu adalah ; 1). Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2) Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) Suatu pembacan baru terhadap teks keagamaan, 5) Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama 6) Kecaman teradap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis.
Sejalan dengan kerangka pikir gerakan teologi pembebasan yang diusung oleh kalangan revolusioner di lingkungan agama Katholik, Islam revolusioner atau Islam pembebasan kurang lebih mempunyai kerangka pikir yang sama. Teologi pembebasan berbasis pada kesadaran rohani dan Islam pembebasan juga berbasis pada kesadaran Islam sejati atau otentik. Masing-masing mempunyai tujuan untuk menjadikan agama sebagai sarana untuk memperjuangkan tegaknya keadilan, meruntuhkan segala sistem despotik dan otoriter dan menjaga agar tidak ada penindasan dimuka bumi ini.
Sebagaimana yang telah terekam dalam sejarah Islam, bahwa kedatangan Islam adalah untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan eksploitasi; mereka inilah yang disebut dengan kelompok masyarakat lemah. Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian anggota yang lainnya yang lemah dan tertindas, tidak disebut sebagai masyarakat Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan ritualitas Islam. Ajaran Nabi menyatakan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran, dan menyuruh umatnya untuk berdoa kepada Allah agar dapat terhindar dari keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat begi terciptanya masyarakat Islam. Dalam hadis lain Nabi menyatakan, bahwa sebuah negara dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa bertahan jika di dalamnya terdapat dhulm (penindasan).
Sayangnya, sebagaimana yang telah digelisahkan oleh Syari’ati, Islam yang bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan status quo. Islam sarat dengan praktek feodalisme dan para ulama justru menyokong kemapanan yang sudah kuat itu. Mereka lebih banyak menulis buku tentang kaidah-kaidah ritual dan menghabiskan energinya untuk mengupas masalah-masalah furû’iyah dalam syari’at, dan sama sekali mengecilkan arti elan fital Islam dengan menciptakan keadilan sosial dan kepedulian Islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas (mustad’afîn). Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai mustakbirîn (orang yang kuat dan sombong).
Seperti yang telah disebut dimuka, Syari’ati “menuduh” ulama sebagai sumber utama atas penyelewengan ajaran Islam yang bersifat revolusioner. Di tangan ulama, Islam telah menjadi agama “orang mati” yang tidak berdaya melawan “orang-orang yang serakah”. Dalam konteks Iran, ulama telah merubah Syi’ah dari kepercayaan revolusioner menjadi ideologi konservatif; menjadi agama negara (din-i dewlati), yang paling tinggi menekankan sikap kedermawanan (philanthropism), paternalisme, pengekangan diri secara sukarela dari kemewahan. Sedangkan pada pihak lain, demikian Syari’ati menggambarkan, ulama mempunyai hubungan organik dengan kemewahan itu sendiri melalui kelas berharta.
Karena ulama Syi’ah memperoleh pemasukan dari Khams (sedekah) dari sahm-i Imâm (bagian dari zakat), mereka tak terhindarkan lagi terkait kepada orang kaya, negara tuan tanah, dan pedagang bazaar. Sebagai respon terhadap orang yang mengklaim bahwa ulama Syi’ah lebih independen dibandingkan dengan ulama Sunni. Syari’ati berargumen bahwa hal itu mungkin benar pada masa sebelum Safavi, tetapi tidak demikian setelahnya.
Kritik terhadap Syari’ati
Perempuan Muslim Indonesia Mendukung Kemerdekaan Bangsa Papua Yang Mengunakan Noken Papua Bersimbol Bintang Fajar
Kritik yang cukup pedas dari Syari’ati kepada golongan ulama membuat para ulama menberikan reaksi balik. Muthahari, salah sorang ulama terkemuka, memandang Syari’ati telah memperalat Islam untuk tujuan-tujuan politis dan sosialnya. Lebih jauh Muthahari menilai, aktivisme politik protes Syari’ati menimbulkan tekanan politis yang sulit untuk dipikul oleh sebuah lembaga keagamaan seperti Hussainiyeh Ersyad dari rezim Syah.
Dan Memang, setelah Syari’ati banyak mengkritik lembaga ulama dan rezim, Hussainiyeh Ersyad akhirnya ditutup paksa oleh pasukan keamanan. Selain Muthahhari, masih banyak ulama sumber panutan (marja’ taqlid) seperti Ayâtullah Khû’i, Milani, Rûhani, dan Thabathâba’i yang juga turut mengecam suara-suara kritis Syari’ati. Bahkan mereka mengeluarkan fatwa yang melarang membeli, menjual, dan membaca tulisan-tulisan Syari’ati.
Setelah Syari’ati mengkritik ulama yang dinilainya sebagai akhund, Syari’ati lantas menyampaikan tipikal ulama ideal. Menurutnya, ulama ideal, secara sederhana, adalah ulama aktivis, yang menggalang massa untuk melakukan gerakan protes. Sehingga dalam hal ini, ia menjadikan ayahnya sendiri dan Ayâtullah Muhammad Baqir Sadr (dihukum mati oleh pemerintah Republik Islam Iran tahun 1979) atau pemikir aktivis dari kalangan Sunni seperti al-Afghani sebagai idolanya. Khomaeni tentu saja cocok dengan kerangka Syari’ati mengenai ulama. Tetapi Syari’ati tidak pernah menyatakan perasaannya secara terbuka tentang Khomaeni. Informasi yang ada nampaknya memberikan indikasi bahwa Syari’ati mengakui Khomaeni sebagai pemimpin besar.
DAFTAR PUSTAKA
The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Esposito: 2001, 294
Ekky Malaky, Ali Syari’ati ; Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern. (TERAJU;Jakarta, 2004) Ali Rahnema, “Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner (Jakarta:Erlangga, 2002)
Azyumardi Azra, Pergolakan Islam Politik; Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996)
Muhammad Nafis, “Dari Cengkeraman Penjara Ego Memburu Revolusi: Memahami “Kemelut” Tokoh Pemberontak”, dalam M. Deden Ridwan (ed.), Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia (Jakarta: Penerbit Lentera, 1999)
Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, Mizan, Bandung, 1985)
Robert D. Lee, “Ali Shari’ati”, dalam Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal, Hingga Nalar Kritis Arkoun, terj. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000)
Michael Lowy, Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. III Diposkan oleh Cecep Sopandi, 09 Mei 1986 di 00:47
Oleh: Cecep Sopandi [Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Jakarta]
I’M YOUR FRIEND – Penguatan pendidikan moral (moral education) atau pendidikan karakter (character education) dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis pendidikan moral yang sedang melanda di Papua. Krisis pendidikan moral menghantui kita dalam kehipan sehari–hari lebih khusus pada anak remaja usia sekolah.
Krisis pendidikan moral tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, mengkonsumsi minuman beralkohol, penyalagunaan obat-obat terlarang menjadi masalah sosial pada generasi Papua. Pembiaraan krisis pendidikan Karakter masih berjalan dengan perkembangan Kabupaten dan perkebangan penduduk di Papua. Penerapan pendidikan Krisis pendidikan karakter juga Kurangnya mengatasi krisis moral berdampak pada siswa SD,SMP dan SMA mengalami kehamilan di luar Nikah. Hal lain juga banyak generasi muda papua mengalami Krisis kematian labih tinggi menuju kepunahan ras Papua.
Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik terhadap sesama manusia dan keselamatan nyawa bagi diri individu.
Pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter kita dalam proses pendidikan formal. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat, dapat dikemukakan dalam pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Thomas Lickona menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami,memperhatikan, melakukan nilai-nilai etika yang inti. Filsuf Suku Mee paniai (Manfred Mote 2013) juga pernah menyinggun dalam buku (Touye) bahawa bahwa manusia yang berpikir itu musti memikirkan “pikiran –pikiran sejatih manusia yang hidup”. Maksud dari pemikian-pemikiaran yang hidup adalah segala pemikiran manusia yang entah langsung ataupun tak langsung.
Dengan hidup dan kehidupan ini juga yang menyatakan dan mengungkapkan hidup serta kehidupan menjadikan manusia hidup dan berkehidupan. Semua pemikiran yang tak bertentangan dengan hidup dan kehidupan boleh dijadikan sebagai objek berpikir.
Selanjutnya Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun Negara dan Alam Sekitarnya.
Pendidikan Karakter Menurut (Kertajaya, 2010), Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu.
Nilai Kehidupan dalam pendidikan karakter terdiri dari 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter yang kita perluh hayati masa perkembangan diri Individu kita generasi Papua yakni, Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat / komunikatif, Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial, dan Tanggung jawab.
Pendidikan karakter telah menjadi perhatian berbagai negara dalam rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas, bukan hanya untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga masyarakat secara keseluruhan.
Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character development (usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan untuk membantu pembentukan karakter secara optimal. Nilai Ingin Rasa Tahu yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya,dilihat, dan didengar kemudian mengembangkanya pada anak dengan cara mengajak anak meneliti sesuatu yang ada disekitarnya kemudian berdiskusi sederhana tentang apa yang sudah diteliti!
Umur Anak dan Kecerdikan Dalam hal ini, pembahasan kita sekarang, penulis menjelaskan pentingnya kita memahami umur anak yang kita maksud dalam upaya melesatkannya.
Di berbagai kesempatan dalam artikel ini sebenarnya pemerhati Pendidikan sudah banyak menyinggung masalah ini, pada bagian inspirasi cerita anak, namun kita peroleh pemahaman yang lebih jauh dan luas maka poin inilah yang lebih penting untuk mewakili yang lainya. Yang kita maksudkan dalam pengulasan ini adalah bukan tampa anak mengelompokkan usia mereka. Anak yang kita maksud haruslah memenuhi kualifikasi umur di atas 5 tahun hingga sampai umur 15 tahun. Pada sekitar usia ini, ia merasa terbebas dari upaya-upaya melesatkan kecerdikan melalui berbagai cerita, namun yang biasanya cerita rakyat yang diperioritaskan anak adalah cerita yang pertama kali di dengar dari kedua orangtua, Lingkungan dan pendidikan formal.
Mengapa kita membatasi usia tuju tahun hingga sampai enam belas tahun saja, pada hal masi bisa juga tahun 0-5 atau 15 keatas!.
Karena maksud kita di sini bahwa diantara usia tuju tahun sampai enam belas sebagai anak yang kita lesatkan kecerdikan nilai-nilai moral, norma, dan hubungan sosial melalui cerita rakyat dan pendidikan karakter, karena dalam usia ini adalah persiapan melangkah ke level remaja dewasa, bukan untuk maksud lain sehingga mengkhususkan. Kita merenungkan alasan yang sangat jelas, yakni alasanya mengembangkan potensi kecerdikan yang ada pada anak itu sendiri.
Kemungkinan besar, diantara kita sudah mengetahui bahwa kecerdikan bukanlah sesuatu yang di turungkan dari Tuhan. Tidak ada anak yang pada saat lahir begitu cerdik tanpa memberi nasehat-nasehat luhur atau pendidikan karakter. Bahkan secara potensial, semua anak memiliki potensi yang sama untuk menjadi cerdik.
Kemudian kita bisa menyebut ciri-ciri atau ukuran-ukuran tentang anak yang cerdik dibandingkan anak yang tidak cerdik, maka hal yang membedakan anak yang satu dengan anak yang lainya bukan karena ibu bapaknya, adalah orang yang cerdik dan juga memiliki pengetahuan yang lebih tinggi, melainkan orangtuanya telah merancang si anak untuk menjadi cerdik sejak kecil.
Demikian seorang ayah atau seorang ibu adalah orang yang tidak membiasakan anak tentang pendidikan karakter, lalu ketika si ibu tersebut tidak menempatkan anaknya menjadi cerdik, maka besar kemungkinan si anak tersebut pertumbuhan anak semakin meranjak dewasa tidak membawah sifat-sifat kecerdikan orangtuanya atau sebanding dengan teman akrab yang lain.
Begitu pulah sebaliknya, apabila kita selama ini merasa sebagai orang yang tidak cerdik, kemudian dengan segenap upayah anda berusaha mendidik dan mencerdikkan anak sejak beranjak remaja melalui itu puji Tuhan anak anda bertumbuh menjadi anak yang lebih cerdas atau cerdik jika dibanding dengan anak yang lainya.
Maka dengan demikian, alangkah baiknya perluh meningkatkan pendidikan karakter di banku sekolah baik dari SD,SMP,SMA Hingga Perguruan Tinggi untuk menumbuh kembangkan Nilai-nilai Budaya bangsa. Setiap sekolah diharapkan Mengajarkan muatan local sesuai konteks budaya setempat (pelajaran Mulog).
Selanjutnya, untuk membangkitkan pendidikan karakter cara mengembangkannya pada anak bisa melalui mempelajari cara dan polah hidup adat isti adat dari orang lain. Nilai Cinta Tana Air yaitu cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Dinas pendidikan dan pengajaran perluh merumuskan pendidikan Muatan local yang bernuangsa pada daerah setempat.
Nilai Peduli Lingkungan yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya menghayati kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi! Secara menyeluruh dan mengembangkannya rasa peduli lingkungan yaitu dengan mengajak anak untuk berkebun dan mengajari mereka untuk menanam Pohon yang ada disekitar kita dan lingkungan umum seperti di lingkungan sekolah, gereja, dan rumah sakit.
Mengajak anak menjaga dan memlihara tanaman merupakan mencintai lingkungan alam yang senag tiasa Menyelamatkan kita dalam kehidupan.
Kita semua adalah manusia yang bermartabat satu dan sama yaitu hidup dan berkehidupan yang berpikir dan berpemikiran.
Kenyataan yang membahagiakan bila kita semua sepikir dan sehati untuk merumuskan pemikiaran-pemikiran yang mengajarkan tentang hidup dan kehidupan yang mengantar kepada kesejatraan dan kedamaian universal pada usia dini di bangku sekolah Formal.
Penulis: Mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan Universitas Cenderawasih
I’M YOUR FRIEND – Kota paling maju di benua biru itu akhirnya runtuh juga. Setelah 8 pekan dikepung, pasukan Turki Ottoman di bawah komando Muhammad Al-Fatih alias Mehmed II berhasil menaklukkan Konstantinopel. Pada 29 Mei 1453, ibu kota Kekaisaran Bizantium atau Romawi Timur itu jatuh, Konstantinus XI selaku raja pun terbunuh, dan lahirlah cikal-bakal Istanbul.
Jatuhnya Konstantinopel menandai akhir Perang Salib yang panjang, sejak 1096. Inilah salah satu peperangan terlama yang pernah terjadi di bumi manusia demi memperebutkan hegemoni dan kekuasaan dengan balutan panji-panji agama: Timur melawan Barat, Usmani kontra Romawi, Islam vs Kristen.
Ketika kaum muslim Turki Ottoman bersuka-cita atas kemenangan mereka, Eropa memang di ambang keterpurukan. Kejayaan imperium Romawi yang juga menjadi era keemasan gereja di Abad Pertengahan terancam benar-benar berakhir.
Direbutnya Konstantinopel oleh trah Usmani menjadi kerugian besar. Penguasaan perdagangan rempah-rempah pun musnah. Mereka semula memiliki pelabuhan besar di Tanduk Emas (dikenal juga dengan nama Golden Horn, Halic, atau Chrysoceras) yang terletak di muara pemisah Konstantinopel sekaligus sebagai penghubung Laut Hitam dan Laut Tengah.
Sejak Konstantinopel lepas dan perdagangan dimonopoli Kesultanan Usmani, bangsa-bangsa Eropa berusaha keras mencari cara lain untuk tetap bisa berdagang ke Asia. Kembali menyusuri jalur darat melewati Konstantinopel alias Istanbul jelas tidak mungkin karena terlalu besar risikonya.
Penjelajahan samudra menjadi solusi bagi bangsa-bangsa Eropa untuk mencapai Asia, bahkan mendapati tempat-tempat baru yang potensial, termasuk pusat rempah-rempah, terutama India bahkan berlayar hingga ke Nusantara. Benua Amerika hingga Australia ditemukan, banyak wilayah di berbagai belahan bumi yang berhasil dikuasai.
Boleh dibilang, kehilangan Konstantinopel justru menjadi embrio kolonialisme dan imperialisme negara-negara Eropa, lalu memicu masa pencerahan atau Renaissance yang kemudian berlanjut ke Revolusi Industri, dan seterusnya hingga apa yang terlihat saat ini.
Di sisi lain, Kesultanan Usmani justru menuai keruntuhan dan akhirnya bubar pada 1924. Kini, kejayaan Ottoman tinggal menyisakan sebuah negara bernama Turki, yang juga masih kerap mengalami konflik dari dalam negeri sendiri.
I’M YOUR FRIEND – Mengapa ketika anda memberikan bantuan anda harus menyiapkan fotografer untuk mendokumentasikan apa yg anda lakukan. Mungkin niatnya adalah untuk meraih simpati publik, agar orang lain tahu anda sudah memberikan bantuan, atau menjadi motivasi bagi orang lain untuk bisa memberikan bantuan seperti anda. Tapi tahukah anda jika itu sama saja anda sedang menjatuhkan martabat si miskin??
Anda sedang menunjukkan kepada orang lain “ini loh orang miskin yg sedang saya bantu”, apa anda tahu dampak sosial si miskin dengan tetangga-tetangganya?
Mungkin saja dia malu karena semua orang tahu bahwa dia miskin. Padahal anda dan saya tahu bahwa dia menjadi miskin tidak sepenuhnya 100% disebabkan oleh dirinya sendiri, ada pengaruh eksternal seperti tidak tersedianya lapangan pekerjaan, tidak tersedianya pasar, minimnya informasi, dsb. Kritikannya ini berbeda jika yg memberikan bantuan subsidi adalah pemerintah, karena itu kewajiban.
Ada pula yang mendokumentasikan kekurangan atau kesulitan orang lain baik itu fisik (disabilitas), atau materi lalu bertanya, sudahkah anda yg tidak disabilitas atau anda yg berkecukupan bersyukur hari ini?
Perlu anda ketahui untuk anda semua yg melakukan itu, atau anda yg tidak disabilitas dan hidupnya tidak kekurangan materi, jangan jadikan kekurangan orang lain sebagai alasan anda bersyukur.
Mau bersyukur ya bersyukur saja, karena anda diberikan semua kelebihan dan kemudahan dari Tuhan. Bukan berarti orang yang sedang berkekurangan atau kesulitan artinya Tuhan tidak mencintai mereka. Tuhan punya cara sendiri menunjukkan cintaNya. Bersyukur kok karena ada orang lain yg berkekurangan dan kesulitan. Hidup anda sampah!
I’M YOUR FRIEND – Lembaran baru meniti impian tanah Papua lembah hitam tolikara tercinta. Untaian doa sejagat, sujud bersembah, nyatalah sudah kembangkan layar, eratkan tali, kemudikan perahu juang 2018 tertuju dermaga 04 November 2020.
Alangkah terkagumnya lembah hitam buaian rakyat bersahaja, beranjak dari koteka beraksesoriskan noken, terpanggil menjadi pemimpin seruan hati, seirama dengan suka cita padukan niat, hilangkan paham.
Genggam harapan demi lestarinya budaya leluhur kami melangkah, tangan bersambut salam dan sapa santun berwibawa tegar berkiprah.
Lembah Hitam memukau terbentang gunung bercadas berselimutkan lembah terjal dari berbagai perbukitan, kilau tembaga pancarkan emas LELAKI pilihan tebarkan karya.
Elok rembulan menerangi kegelapan terucap kata habis gelap terbitlah terang badai pun berlalu, semi pun tiba, rancangkan pembaharuan mentari merekah, memerah membara. Bangkitkan semangat pemersatu hati, adil, merata, lagi bijak.
Emansipasi rakyat Tolikara, sejajar berdiri menangis cinta menguak seni adat nan lampau kembangkan generasi penerus
Nama Sang Orator Ideolog Papua A.Sonny Wanimbo bersama kawan-kawan di parlemen DPRD Kabupaten Tolikara tersohor terpati menggelegar membela bumi cenderawasih terkhusus lembah hitam Tolikara untuk mempersatukan semua komponen demi perubahan negeri.
“Dari kami Militan NasDem Tolikara Mengucapkan Selamat sukses pemuda muda bersama kawan-kawan atas terlantiknya DPRD defenitif Kabupaten Tolikara”
Nelson Mandela, seorang revolusioner antiapartheid dan Politisi Afrika selatan mantan presiden Afrika Selatan sejak 1994 sampai 1999. Ia menulis kisah pribadi yang luar biasa:
Setelah saya menjadi presiden, suatu hari saya meminta beberapa anggota perlindungan dekat saya untuk berjalan bersama saya di kota, dan makan siang di salah satu restorannya. Kami duduk di salah satu restoran di pusat kota dan kita semua meminta semacam makanan…
Setelah beberapa saat, pelayan membawa permintaan kami. Saya perhatikan ada seseorang yang duduk di depan meja saya menunggu makanan. Saya mengatakan kepada salah satu tentara: Pergi dan minta orang itu untuk bergabung dengan kami dengan makanannya dan makan bersama kami. Tentara itu pergi dan bertanya kepada lelaki itu.
Pria itu membawa makanannya dan duduk di sampingku ketika aku bertanya dan mulai makan. Tangannya gemetar terus-menerus sampai semua orang selesai makan dan lelaki itu pergi.
Tentara itu berkata kepada saya: Pria itu tampaknya cukup sakit. Tangannya bergetar saat dia makan !! “Tidak, tidak sama sekali,” kata Mandela. “Pria ini adalah penjaga penjara tempat saya dipenjara. Seringkali, setelah penyiksaan yang saya alami, saya sering berteriak dan meminta sedikit air. Pria yang sama selalu datang setiap waktu dan buang air kecil di kepala saya sebagai gantinya
Jadi saya menemukannya takut, gemetar, mengharapkan saya untuk membalas sekarang, setidaknya dengan cara yang sama, baik dengan menyiksanya atau memenjarakannya karena saya sekarang adalah Presiden Negara Afrika Selatan Tapi ini bukan karakter saya atau bagian dari etika saya.
Mentalitas pembalasan menghancurkan negara sedangkan mentalitas toleransi membangun negara.
I’M YOUR FRIEND – Konflik dan kekerasan yang belum kunjung usai di Papua, melansir CNN Indonesia, berita terbaru hari ini. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan saat ini ada 19 Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang tengah diperangi oleh pemerintah berkaitan dengan berbagai aksi kekerasan dan separatis yang dilakukan di Papua.
Mahfud menegaskan pemerintah dalam hal ini tidak sedang memerangi masyarakat Papua, melainkan kelompok masyarakat yang bergerak secara separatis dan kerap melakukan kekerasan serta sudah dilabeli oleh Pemerintah sebagai teroris.
“Mohon dipahami kita tidak perangi Papua tapi kita perangi KKB, ada 19 kelompok. Kita mulai dari yang menonjol dulu,” kata Mahfud saat menggelar rapat kerja dengan Komite I DPD RI, Selasa (25/5).
Sementara Operasi Militer yang secara masif dilakukan oleh Operasi gabungan TNI-POLRI di Papua, Mahasiswa Papua di Bogor pun menuntut agar Operasi tersebut ditarik menimbang eskalasi yang semakin meningkat sejak ditetapkannya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) –berdasarkan nomenklatur pemerintah-sebagai kelompok teroris. Namun, hingga saat ini belum ada titik terang dengan menggunakan pendekatan non-militer sebagai pendekatan lain terhadap penghentian kekerasan di Papua dapat tercapai.
Sebuah laporan yang disusun Perkumpulan Advokat HAM (PAHAM) Papua dan KontraS Papua menunjukkan tren kekerasan tetap tinggi pada tahun 2020. Konsentrasi aparat keamanan dan pendekatan persoalan yang diterapkan diduga menjadi faktor.
Laporan berjudul “Orang Papua Dilarang Bicara” itu disusun berdasar monitoring dan investigasi kasus-kasus kekerasan di Papua, yang melibatkan TNI dan Polri. Mengingat kembali, baru saja beberapa hari yang lalu ada ratusan pendemo di Manokwari ditahan 10 jam di Markas Brimob ketika mereka menyerukan penolakan terhadap Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II.
Dalam laporan tersebut di atas, kedua lembaga itu memberi perhatian lebih pada empat wilayah konflik, yaitu Kabupaten Intan Jaya, Nduga, Maybrat, dan Kota Timika.
Menurut Yohanis Mambrasar dari PAHAM Papua, laporan ini tidak terkait konflik bersenjata yang melibatkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) maupun Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TNPB).
Di lain kesempatan, berdasarkan catatan Amnesty International Indonesia, setidaknya ada 47 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh aparat keamanan sejak Februari 2018 hingga Desember 2020.
Dari 47 kasus tersebut, tercatat sekitar 80 orang menjadi korban kemudian di tahun 2021 ini diduga sudah ada lima kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan yang memakan tujuh korban.
Selain itu yang pernah jadi sorotan publik juga mengenai penjatuhan hukuman oleh terhadap 70 aktivis Papua di delapan kota berbeda termasuk Jakarta, atas partisipasi dalam demonstrasi anti-rasisme di mana mereka mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua.
Karena perbuatan tersebut Pengadilan pun menjatuhkan pidana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Makar” dan menghukum mereka pidana penjara paling lama 11 bulan.
Korban yang Tidak Terlihat dan Terabaikan Media
Sejak akhir 2018 sekitar 400 pengungsi tewas di Kamp Pengungsi Nduga. Jakarta Indonesia belum mengambil peran yang signifikan dalam menangani masalah ini.
Mengingat kembali lagi, dalam beberapa waktu terakhir, media memberitakan aparat keamanan Indonesia melakukan penembakan terhadap dua pria di Kabupaten Mimika, Papua. Namun, hanya sedikit yang membicarakan tentang korban dari konflik yang berkepanjangan pada pengungsi internal di Papua.
Setelah pembantaian di Nduga pada tahun 2018 — ketika 25 pekerja dari perusahaan konstruksi milik negara Indonesia diculik oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNBP) dengan menewaskan 30 orang — Pemerintah Indonesia mengumumkan keadaan darurat di Kabupaten Nduga kala itu.
Status darurat tersebut memberikan justifikasi bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk melancarkan Operasi Militer Nemangkawi yang mana itu justru meningkatkan intensitas konflik bersenjata di wilayah tersebut, yang pada akhirnya menciptakan Pengungsi Internal (Internally Displaced People-IDP). Diperkirakan saat ini, ada sekitar 5000 orang tinggal di kamp pengungsi, 700 di antaranya adalah anak-anak.
Pengungsi di Nduga saat ini hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Menurut seorang relawan dari Papua Baku Bantu Foundation menyatakan bahwa makanan pengungsi di kamp hanya terdiri dari ubi, tanpa lauk tambahan untuk memberi nutrisi lebih lanjut bagi mereka.
Akibatnya, banyak pengungsi mengalami gizi buruk — kondisi yang sangat berbahaya bagi kelompok rentan seperti ibu hamil, anak kecil, dan penderita kondisi medis kronis.
Selain itu, pengungsi juga mengalami masalah sanitasi yang kurang memadai sehingga menyebabkan gangguan kesehatan seperti diare dan penyakit kulit.
Kombinasi malnutrisi, sanitasi yang buruk, dan kurangnya perhatian medis juga membahayakan sistem kekebalan pengungsi secara keseluruhan, yang mengarah pada kerentanan terhadap penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah. Sejak kamp pengungsian pertama kali didirikan pada 2018, kira-kira 400 pengungsi tewas di berbagai kamp di Nduga.
Kritik pun bermunculan dengan argumentasi yang kuat bahwa sejak awal, pemerintah Indonesia tidak hadir di Nduga, dan sebagian besar kamp pengungsi di kabupaten tersebut didirikan oleh LSM, gereja, dan organisasi muda-mudi asli Papua—lembaga dengan sumber daya yang terbatas.
Sementara kondisi di kamp pengungsian semakin memburuk setiap hari, tidak heran ada seruan dengan keras dilayangkan agar Pemerintah Indonesia mengumumkan keadaan darurat kemanusiaan.
Namun, pada pertengahan 2019, militer Indonesia membantah angka-angka yang ada dalam laporan Solidarity for Nduga dan Amnesty International dan menyebutnya sebagai “hoaks.” Pemerintah membantah jumlahnya setinggi itu, meski di sisi lain Pemerintah sendiri belum dapat memverifikasi kondisinya secara langsung dengan data yang dapat dipertanggung jawabkan.
Pemerintah melalui Kementerian Sosial Republik Indonesia dilaporkan telah memberikan bantuan kepada pengungsian Nduga senilai Rp. 745 juta yang dibagikan dalam bentuk sembako, peralatan rumah tangga, dan perlengkapan sekolah. Pemerintah juga berupaya memulai program konseling di sekolah darurat yang dilakukan oleh para guru.
Namun bantuan pemerintah masih jauh dari mencukupi, karena kamp membutuhkan lebih dari sekadar bantuan ad hoc untuk menciptakan lingkungan yang stabil dan sehat.
Respons terlambat dari pemerintah Indonesia, ditambah dengan permusuhan terhadap orang asli Papua—baca rasisme terhadap mahasiswa dan orang asli papua—ditambah dengan dilakukannya pendekatan militeristik Jakarta di Papua, membuat pendekatan kemanusiaan lebih lanjut terhadap pengungsi oleh pemerintah Indonesia menjadi sulit dilakukan.
Belum lagi dengan arus informasi yang simpang siur mengingat kinerja jurnalis kredibel di Papua sulit dilakukan karena kondisi internet di Papua digambarkan tidak bernyawa.
Krisis Pengungsi Nduga kurang mendapat perhatian media dalam beberapa tahun terakhir hingga saat ini, tidak menutup kemungkinan bahwa isu ini bisa menjadi titik radang konflik Papua di masa mendatang.
Meskipun pendekatan militeristik merupakan elemen penting dari taktik kontra-pemberontakan, pemerintah Indonesia seharusnya tidak menganggapnya sebagai satu-satunya cara dalam mengekang gerakan separatis berdasarkan hukum nasional.
Masyarakat adat Papua haruslah dianggap sebagai “penduduk netral” dalam konflik Papua, karena dukungan mereka dapat membantu menentukan kemenangan atau kekalahan pihak yang berperang.
Dukungan untuk Indonesia dari komunitas asli Papua akan melemahkan basis dukungan pemberontak, merampas jaringan intelijen, logistik, dan tempat persembunyian mereka di antara populasi netral.
Dalam hal legitimasi internasional, dukungan dari orang asli Papua juga akan memperkuat posisi Indonesia dalam mengamankan legitimasinya jika terjadi referendum.
Sebaliknya, perubahan penyebutan istilah oleh dari OPM menjadi KKB adalah salah satu langkah cerdas Pemerintah Indonesia untuk menghindari dibentuknya opini bahwa KKB merupakan sebuah kelompok pemberontak yang kuat dan terorganisir.
Meskipun pernah berusaha mendeklarasikan kelompoknya sebagai sebuah Organisasi Papua Merdeka, pada kenyataannya sifat kekerasan bersenjata di Papua masih sporadis, tidak berada di bawah satu komando yang bertanggung jawab serta jauh dari sifat terorganisir.
Ini tentu ada keterkaitannya dengan pemahaman akan aturan Hukum Humaniter dan Hukum Internasional yang baik juga dapat menghindari Indonesia dari tindakan gegabah menggunakan kekuatan bersenjatanya yang nantinya hanya akan menjustifikasi bangsa lain untuk turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Paul et. al at RAND menunjukkan bahwa dari 59 studi kasus, 44 negara masih menggunakan pendekatan utama mereka sebagai strategi kontra pemberontakan dilakukan dengan pendekatan militeristik. Namun, metode represif tersebut hanya menghasilkan tingkat keberhasilan 32%.
Di sisi lain, negara yang menggunakan strategi campuran memiliki peluang sukses yang lebih tinggi ketimbang hanya pendekatan militeristik, dengan 73%.
Indonesia dapat belajar dari keberhasilan pemberontakan Inggris di Malaya selama tahun 1950-an, di mana pemerintah Inggris melakukan beberapa strategi selain operasi militer, seperti melakukan reformasi politik dan memperbaiki pemerintahan. Namun apakah itu dengan Otsus Jilid II? Itu diskusi yang lain lagi.
Pemerintah Indonesia harus mengambil peran utama dalam memperbaiki kondisi kamp pengungsian. Itu konkret.
Pada akhirnya, di atas kepentingan strategisnya, krisis pengungsi Nduga harus dilihat sebagai masalah kemanusiaan yang sangat membutuhkan perhatian dari Pemerintah Indonesia.
Tanpa bantuan lebih lanjut dari pemerintah, situasi di kamp pengungsian Nduga sewaktu-waktu dapat memburuk, yang berdampak jangka panjang yang dapat menghambat revitalisasi pasca konflik di Kabupaten Nduga.
Dengan mempertimbangkan semua faktor tersebut, pemerintah Indonesia harus hadir dan mengambil peran terdepan dalam mengatasi krisis pengungsi Nduga semata-mata sebagai bentuk perlindungan Negara terhadap warga negaranya di samping dari menjamin terlaksananya Hak Asasi Manusia.
Penulis juga Mengutip Tulisan Aisha Kusumasomantri And Yulanda Iek pada New Mandala.