Masa Depan Orang Asli Papua Dalam NKRI

Oleh: Yosua Douw

Tulisan ini terinspirasi dari diskusi panjang-lebar tentang masa depan orang asli Papua di Indonesia pada platform media sosial, baik obrolan dalam grup, maupun melalui pesan jalur pribadi. Diskusi-diskusi seperti itu amat baik untuk membangun dialektika dalam semangat saling asah, asih, dan asuh sebagai generasi penerus bangsa di Tanah Papua.

Dinamika ini sangat baik dan penting agar orang asli Papua (OAP) senantiasa menuangkan pemikiran yang cerdas dan kritis, dalam mewujudkan perubahan di Tanah Papua, menuju masyarakat yang adil dan makmur, baik dari aspek pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, maupun terbukanya akses atau infrastruktur di Tanah Papua.

Jika ditinjau dari aspek filosofis dan aspek sosiologis, hal-hal yang didiskusikan itu hampir pasti berkaitan atau mengerucut pada hal-hal sebagai berikut:

Pertama, sikap traumatik. Dalam hal ini, adanya sikap traumatik dari orang asli Papua atas kehilangan sumber daya alamnya. Sumber daya alam Papua yang melimpah itu sesungguhnya belum signifikan berdampak pada kesejahteraan orang asli Papua;

Kedua, kekhawatiran terhadap pembinaan ASN yang dirasa belum optimal. Hal yang terlihat akhir-akhir ini adalah adanya pengangkatan Aparat Sipil Negara (ASN) K-2 dan Honorer yang sering terjadi dan diikuti dengan aksi demonstrasi akibat sikap ketidakpuasan;

Ketiga, belum lahirnya pengusaha orang asli Papua yang mandiri dan andal. Sejak pelaksanaan Undang-Undang Otsus sekitar 20 tahun lalu, belum terlihat pengusaha OAP yang disiapkan secara terdidik dan mandiri dalam pengelolaan pengadaan barang dan jasa.

Kalaupun ada pengusaha OAP, itu diletakkan dalam satu lingkaran kejar Rp 2,5 miliar. Selebihnya hanya rekan-rekan lainlah (pengusaha non-OAP) yang mengelolanya;

Keempat, belum disiapkannya kader OAP pada institusi vertikal (pemerintah). Harus diakui bahwa sejauh ini belum banyak OAP yang bekerja di lingkungan kejaksaan, pengadilan dan instansi vertikal lainnya.

Persiapan pengkaderan untuk menduduki jabatan kapolda dan pangdam juga belum terlihat. Kalaupun ada, itu pun mereka ditempatkan sebagai kapolda atau pangdam di Tanah Papua saja. Artinya, ruang lingkupnya baru sebatas itu.

Hal lain yang terlihat adalah lebih banyak OAP diarahkan menjadi ASN dan mengelola dana Rp 2,5 miliar. Sedangkan ASN orang asli Papua belum dikaderkan untuk bekerja atau menjabat jabatan strategis di provinsi lain di luar Provinsi Papua dan Papua Barat.

Sampai di sini, saya lalu bertanya, apakah ASN orang asli Papua hanya dapat bekerja di Tanah Papua? Apakah kualitasnya diragukan? Tentu kita juga berharap agar ke depan ada ASN orang asli Papua juga yang menduduki jabatan struktural di Provinsi Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, dan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia;

Kelima, keterbukaan informasi publik. Belum adanya keterbukaan informasi publik dari pemerintah daerah, Badan Pusat Statistik atau Litbang Bappeda kabupaten/kota atau provinsi terkait dengan data real OAP yang produktif.

Issue Lain: Cepat atau Lambat Papua Pasti Merdeka Sebagai Negara Berdaulat

Jika melihat hal-hal yang dikemukakan di atas, maka perdebatan seputar penolakan pemekaran daerah otonomi baru (DOB) dan otonomi khusus (otsus) sah-sah saja. Memang perlu adanya keseimbangan berpikir dalam memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua.

Dari sekian banyak diskusi panjang-lebar selama ini, terlihat adanya kategori beberapa kelompok yang mengemuka. Semuanya memiliki pandangan baik, sehingga semestinya kita meresponsnya dengan sudut pandang yang positif pula sebagai masukan yang luar biasa.

Berbagai pendapat dari diskusi tersebut justru memperkaya wawasan berpikir kita dalam memecahkan permasalahan atau mencari solusi yang tepat. Namun, kita harus tetap konsisten dengan pandangan-pandangan kita.

Dalam kondisi demikian, justru sudut pandang dan sikap itu akan menstimulus, mendorong dan membentuk kita menjadi pribadi-pribadi yang matang atau dewasa dalam membentuk kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional.

Mari kita lihat dan bedah lebih lanjut. Bahwa kelompok-kelompok tersebut, misalnya, kelompok yang menolak otsus dan DOB. Dengan pertimbangan dan ditunjukkan dengan sikap bahwa otsus tidak memberikan manfaat dan perubahan yang signifikan bagi orang asli Papua selama 20 tahun berjalan.

Ada juga kelompok yang meminta agar ada evaluasi pengelolaan dana otsus baru dijalankan pemekaran DOB dan perpanjangan otsus. Dengan pertimbangan sejumlah rekomendasi dari hasil evaluasi selama otsus berjalan 20 tahun di Tanah Papua.

Kelompok berikut adalah mereka yang menolak DOB atau DOB ditunda, tetapi otsus tetap dijalankan atau diperpanjang. Kelompok ini mempunyai pertimbangan bahwa wilayah Papua cukup luas dan kompleks. Konsentrasi penduduk Papua rata-rata menyebar atau tinggal di wilayah adat masing-masing. Penduduk asli Papua tidak berada pada satu titik daerah pembangunan, sehingga membutuhkan dana yang cukup besar untuk melaksanakan pembangunan di Tanah Papua.

Kelompok berikutnya adalah mereka yang menerima DOB dan otsus. Bagi mereka otsus dianggap berhasil mengantarkan perubahan di Tanah Papua.

Kelompok-kelompok dengan latar belakang pemikiran masing-masing ini memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri. Itu wajar dalam berdinamika di era demokrasi. Di sisi lain, pada kenyataannya DOB dan otsus sudah disahkan dan akan berjalan sesuai konsep Jakarta atau pemerintah pusat di Papua.

Meski demikian, perlu perhatikan beberapa hal, misalnya, OAP menjadi gubernur dan wakil gubernur di Tanah Papua; sebaran ASN aman bagi OAP dan non-OAP (anak-anak yang orang tuanya telah lama mengabdi di Tanah Papua); memastikan kuota legislatif aman. Bahwasanya menjadi anggota DPR Papua merupakan hak OAP.

Issue Lain: 19 Desember Sejarah Aneksasi Kemerdekaan Kedaulatan Bangsa Papua Barat

Pemilihan umum legislatif juga harus berjalan normal sesuai aturan perundang-undangan. Pastikan juga pengangkatan anggota DPR melalui jalur otsus.

Yudikatif juga pastikan aman untuk orang asli Papua atau OAP dan non-OAP. Pebisnis dan pengusaha OAP dan non-OAP juga harus siap bersaing dan terlibat langsung dalam proyek pemerintah, serta OAP dan non-OAP yang memimpin organisasi kepemudaan (OKP), organisasi kemasyarakatan (ormas), dan LSM yang memiliki koneksi dengan lembarga-lembaga donor di luar negeri.

Selain itu, harus dipastikan juga partai politik lokal di Tanah Papua seperti di Aceh. Lembaga masyarakat adat, gereja, dan agama juga harus diperkuat.

Demikian catatan kritis penulis atas diskusi pada ruang virtual tersebut. Kita boleh berbeda pendapat, tetapi harus saling memberikan penguatan untuk memajukan Tanah Papua atau membawa perubahan dan kesejahteraan bagi rakyat Papua. (*)

Penulis: Sekretaris Daerah Kabupaten Tolikara, Papua

Iklan

Satu respons untuk “Masa Depan Orang Asli Papua Dalam NKRI

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.